Urban Crime

Oleh: Dr. Rycko Amelza Dahniel[1]

Pendahuluan

Makalah singkat ini akan menunjukkan bahwa perkembangan suatu wilayah perkotaan, industri, masyarakat dan berbagai masalah sosial yang mengikutinya merupakan faktor penentu terwujudnya kriminalitas atau kejahatan di perkotaan (epidemiologi[2] kriminal) sehingga sebuah kota dengan sendirinya juga merupakan produsen dari kejahatan yang terwujud di perkotaan (criminogenic). Kejahatan di perkotaan (urban crime) merupakan produk dari perkembangan kota itu sendiri, oleh karena itu karakteristik dari kejahatan yang terjadi juga akan dapat dibedakan dengan kejahatan yang terjadi di wilayah yang bukan perkotaan. Kejahatan yang terjadi antara kota yang satu dengan kota lainnya juga dapat dibedakan intensitas dan kualitasnya tergantung dari dinamika dan perkembangan struktur kota tersebut. Dinamika kota ditentukan oleh mobilitas pergerakan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi kota yang bersangkutan. Sedangkan struktur kota ditentukan atas pembangunan terpadu dan komprehensif atas suprastruktur yang direncanakan dengan infrastruktur dibangun. Kajian atas kejahatan yang terjadi di perkotaan juga tidak akan terlepas atas pengaruh dari perkembangan kebudayaan masyarakat perkotaan, perkembangan kota atau wilayah tetangganya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kajian ilmiah terhadap terbentuknya sebuah kejahatan dan analisisnya menjadi sasaran kajian dari ilmu tentang kejahatan atau kriminologi.

 

Fokus kajian dari kriminologi pada hakekatnya mempelajari sebab-sebab terjadinya, faktor-faktor penentu, modus-modus dan dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan, dengan maksud untuk memberikan penjelasan secara ilmiah dan membantu penanganan kejahatan itu sendiri secara lebih baik, sistematis, komprehensif dan tentunya lebih efektif dan manusiawi. Sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, maka metode yang digunakan dan data-data yang dikumpulkan dalam mempelajari dan mendeskripsikan terjadinya kejahatan disuatu wilayah, dampak yang ditimbulkan dan upaya yang harus dilakukan harus melalui sebuah prosedur ilmiah. Oleh karena itu analisis dan temuan ilmiah dalam kriminologi dapat ditentukan ulang oleh para peneliti lainnya sesuai dengan konteks, lokalitas dan pekembangan dari suatu wilayah dan corak masyarakatnya.

Secara garis besar, wilayah perhatian kriminologi akan menjelaskan berbagai fenomena kejahatan ditinjau dari dan melalui kriminografi, etiologi, penologi, prevensi kriminalitas, dan viktimologi. Kriminografi atau disebut juga dengan kriminologi deskriptif merupakan bentuk penyajian statistik kriminal menurut waktu dan tempat yang setidaknya akan menjelaskan tiga hal, yaitu pemetaan kejahatan (crime mapping), persepsi masyarakat terjadap kejahatan (public perceiving) dan kebijakan pemerintah dalam penanganannya (government policing).

Selanjutnya etiologi kriminal menyelidiki tentang penyebab perilaku kriminal dalam arti kata yang lebih luas, yaitu kriminologi harus mampu menyusun prinsip-prinsip mendasar dan berlaku umum yang terwujud atas berbagai teori-teori ilmiah yang dapat diverifikasi secara empirik untuk menjelaskan bentuk-bentuk kriminalitas dari perilaku manusia. Terdapat dua aliran besar didalam etiologi kriminal yang satu dengan lainnya saling menjelaskan dan seringkali juga saling bertentangn, yaitu etiologi psikologis dalam aliran positivistik dan etiologi sosiologis dalam aliran post positivistik. Aliran pertama dalam positivistik dipelopori oleh Cesare Lambroso (1876) dengan sasaran kajian mencari penyebab terjadinya perilaku kriminal, mengapa seorang penjahat melakuan perbuatan kriminal?, sementara itu ada orang lain dengan kondisi sosial yang sama, namun tidak melakukan perbuatan kriminal?. Disisi lain, aliran kedua dalam post positivistik yang dipelopori oleh W.Bonger (1902) sasaran kajiannya untuk menjelaskan tingkat kriminalitas yang terjadi disatu wilayah. Aliran ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kriminalitas dengan lingkungannya, artinya bahwa kriminalitas juga terjadi karena kemiskinan dan tingkat ekonomi suatu wilayah.

Reaksi masyarakat terhadap para pelaku kriminal masuk dalam wilayah kajian penologi. Reaksi ini dapat dibedakan atas reaksi informal dan formal. Reaksi informal menunjuk kepada reaksi para korban kejahatan dan korban potensial serta warga yang ada disekitar kejahatan yang terjadi. Sementara itu reaksi formal merupakan tindakan aparatur penegak hukum pemerintah dalam bentuk penangkapan, penahanan, denda, pembatasan kebebasan seperti penahan dalam kota.

Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan juga menjadi wilayah perhatian kriminologi baik secara proaktif atau dalam fungsi kepolisian disebut dengan pre-emtif atau pencegahan secara tidak langsung (indirect prevention) maupun upaya pencegahan secara langsung atau preventif (direct prevention). Dan, viktimologi atau ilmu tentang korban, sebagai salah satu wilayah kajian kriminologi memberikan penjelasan tentang ciri-ciri korban, akibat kejahatan bagi korban dan praktek dilakukannya bantuan bagi korban.

 

Kota, Industri dan masyarakatnya

Awal abad ke-20 fokus kajian kriminologi mulai mengarah kepada wilayah perkotaan. Selama tahun 1920-an dan 1930-an perhatian para krimonolog mulai difokuskan pada kota sebagai pembentuk kejahatan (criminogenic). Émile Durkheim (1897), Max Weber (1958), Ferdinand Toennies (1887), and para sosiolog dari Eropa lainnya menulis tentang  perubahan yang  terjadi sebagai hasil dari transisi masyarakat agraris di pedesaan menuju masyarakat industri di perkotaan. Mereka menjelaskan adanya sebuah perubahan sosial yang cepat (rapid social change) dan pertumbuhan akan menjadikan kota sebagai tempat yang potensial terbentuknya kejahatan di perkotaan. Akan tetapi para sosiolog juga yakin meskipun terjadi perubahan yang lambat dari sebuah kota ataupun stabil, kota tetap sebuah criminogenic. Gelombang urbanisasi dan ekologi dari kota sebagai penyumbang dari terbentuknya criminogenic (Robert D. Crutchfield dan Charis E. Kubrin, 2009, http://law.jrank.org/pages/2227/Urban-Crime.html).

Dalam sejarah peradaban manusia, kota-kota dimasa lampau merupakan pusat peradaban, tempat berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, kesenian, hukum dan keadilan, etika, estetika dan moral manusia pada umumnya. Dimasa lampau, kota-kota sebagai sebuah satuan kehidupan mempunyai corak yang eksklusif atau hanya diperuntukan bagi warga kota yang menjadi penduduk kota itu sendiri, pendatang yang datang sebagai wisatawan atau musafir yang akan beristirahat sementara dalam rentetan perjalanan panjangnya atau bagi pedagang yang berdiam sementara.

Sebuah kota pada masa itu adalah sebuah satuan kehidupan politik, administrasi, sosial dan kebudayaan yang berdiri sendiri. Sebuah kota, hidup dari berbagai pajak atau pembayaran atas berbagai pelayanan yang diberikan kota tersebut kepada warganya, musafir atau wisatawan, dan kepada warga pedesaan disekeliling kota tersebut. Pelayanan-pelayanan tersebut berupa berbagai macam hiburan dan penghiburan, air, makanan, tempat istirahat, dan keamanan.

Hubungan antara kota dan pedesaan atau pedalaman dapat dilihat sebagai hubungan proteksi atau pendominasian kota atas wilayah-wilayah pedesaan yang ada disekelilingnya yang simbiotik. Kota menyediakan perlindungan keamanan jiwa dan harta benda, serta menjadi orientasi patokan kesejahteraan hidup dan nilai-nilai budaya bagi warga pedesaan, dan sebaliknya daerah pedesaan menjadi pemasok berbagai bahan mentah dari hutan, kebun dan tenaga kerja kasar.

Kota-kota masa kini, termasuk di Indonesia, telah berkembang sedemikian rupa karena fungsinya sebagai pusat industry, pertumbuhan ekonomi pembangunan dan politik, maka kota bukan saja menjadi pusat peradaban tetapi juga berkembang menjadi pusat kebobrokan peradaban manusia, kehancuran lingkungan, pemujaan terhadap uang secara berlebihan dan kerakusan yang mencerminkan ungkapan homo homoni lupus (Suparlan, 2004).

Konsep pembangunan perkotaan yang semata-mata hanya menghitung keuntungan ekonomi, akan menghasilkan berbagai permasalahan sosial yang diakibatkan tingginya tingkat urbanisasi dari daerah pedesaan yang rendah tingkat keahlian kerjanya, tingkat kepadatan yang tinggi, lalulintas semakin semrawut, tingginya tingkat selera konsumsi yang tidak diimbangi dengan dengan tingkat produksi dan penggajian yang wajar, tata ruang, penggunaan kekuatan sosial untuk menduduki tanah yang bukan miliknya atau fasilitas-fasilitas lainnya, munculnya pemukiman liar dan kumuh di daerah perkotaan yang berfungsi sebagai kantong-kantong kemiskinan dan pensosialisasian kriminalitas, pelacuran, kenakalan dan kejahatan remaja, alkoholisme dan berbagai permasalahan sosial sebagai akibat dari tidak mampunya daya dukung lingkungan perkotaan.

Kota-kota di Indonesia pada umumnya mempunyai fungsi sebagai pusat-pusat perkembangan ekonomi pasar yang kapitalistik yang bertumpu pada perkembangan INDUSTRInya dalam struktur pembangunan manusia. Ketika sebuah kota tidak mampu lagi menampung industri baru karena tidak ada ruang lagi yang dapat dikembangkan atau diremajakan, maka kegiatan-kegiatan industri dialihkan ke daerah pinggir kota. Wilayah industry ini biasanya meluas ke daerah-daerah pedesaan di luar wilayah kota dan memunculkan pusat-pusat industry di daerah pedesaan pinggir kota, yang mengkibatkan wilayah pedesaan tersebut berubah menjadi perkotaan. Dengan demikian terjadi perubahan fisik, ekonomi, sosial dan kebudayaan karena adanya industry yang dikembangkan. Dengan demikian wilayah pedesaan berubah menjadi wilayah perkotaan karena proses industrialisasi.

 

Urbanisme

Louis Wirth (1968 dalam Suparlan, 2004), seorang tokoh sosiologi perkotaan, melihat salah satu dari aspek kehidupan masyarakat kota yang berbeda dari kehidupan di desa, yaitu yang impersonal dan yang terbuka. Ciri-ciri kehidupan kota yang impersonal dan terbuka tersebut dinamakan urbanisme (urbanism) atau cara hidup perkotaan. Adapun ciri-ciri yang menandai urbanisme tersebut adalah:

  1. Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang dikotanya karena kota adalah seperti kerumunan manusia, mereka datang dan pergi secara terus menerus, sehingga seorang warga kota tidak dapat dan tidak mampu untuk mengenal semua mereka itu. Karena itu hubungan yang terjadi diantara orang kota lebih bersifat superficial atau dibuat-dibuat.
  2. Anonomiti atau tidak dikenalnya identitas pribadi. Ini merupakan akibat dari tidak mampu atau tidak dapat mengenal semua orang yang ada di kota, sehingga tidak merasa perlu untuk mengenal atau dikenal. Seorang warga kota dapat bergerak atau melakukan kegiatan-kegiatan diantara sesama warga kota tanpa harus sungkan karena dia tidak dikenal atau anonim.
  3. Kehidupan kota menghasilkan tingkat mobilitas yang tinggi, yaitu warga kota harus mempunyai tingkat penyesuaian yang tinggi terhadap lingkungannya yang selalu berubah atau transien.
  4. Urbanisme atau cara hidup perkotaan bukan hanya milik orang kota saja, tetapi secara bertahap juga mempengaruhi cara hidup masyarakat yang terletak di daerah pinggirannya, termasuk desa-desa yang ada didaerah tersebut. Urbanisme berlangsung melalui proses urbanisasi, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang muda dari desa. Kepulangan para pemuda desa yang merantau di kota masing-masing membawa pengaruh urbanisme.

 

Masalah-masalah sosial pertumbuhan perkotaan

Tidak mampunya daya dukung lingkungan perkotaan, industrialisasi yang lebih berorientasi kepada kebutuhan ekonomi, dan urbanisme yang tidak terkendali akan melahirkan berbagai masalah-masalah sosial berkaitan dengan pertumbuhan suatu wilayah menjadi kota, antara lain:

  1. Urbanisasi. Perpindahan penduduk dari pedesaan menuju daerah perkotaan. Yang menjadi masalah adalah warga dari daerah pedesaan yang ingin mengadu nasib di perkotaan, namun hanya memiliki kemampuan keahlian yang terbatas atau rendah, dan karena itu hidup sebagai pekerja kasar atau buruh dipabrik-pabrik dengan upah yang relatif rendah. Para pekerja pendatang ini pada umumnya laki-laki dan perempuan dengan rata-rata usia produktif atau orang-orang muda bujangan atau bujangan lokal yang tinggal berdesakan di sekeliling tempat mereka bekerja dengan cara menyewa atau kontrak kamar-kamar secara bergotong royong untuk meringankan beban pembayaran sewa kontrak sesuai dengan gaji buruh yang diterima dari pabrik. Oleh karena itu mereka hidup rata-rata pada perkampungan yang kumuh dan berbagai keterbatasan atas air, sanitasi serta fasilitas lainnya untuk pemukiman. Keberadaan perkampungan kumuh, disamping akan menimbulkan masalah bagi lingkungan atas pemakaian air, tanah, sungai, sanitasi, sampah dan tata ruang, juga akan memproduksi masalah-masalah sosial dan kejahatan. Masalah lain dari urbanisasi adalah penambahan penduduk kota yang tidak terkontrol sehingga sulit untuk melakukan pengawasan kependudukan.
  2. Kemiskinan dan daerah kumuh atau liar. Kemiskinan muncul dan semakin nampak mencolok keberadaannya di daerah perkotaan karena kontras dengan kekayaan yang menjadi ciri dari kehidupan perkotaan. Secara garis besar para penderita kemiskinan dikota adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan keahlian yang berguna dalam kegiatan industri dan perekonomian di perkotaan. Golongan ini dapat berasal dari penduduk asli setempat dan para pendatang. Penduduk asli setempat yang sudah tergolong miskin sebelum berkembangnya kota menjadi pusat industri dan ekonomi pasar, hanya memiliki pendidikan rendah dan pas-pasan, serta tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan industri dan pasar. Kemampuan bertahan para penduduk asli setempat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah dengan menjual tanah warisan kepada para pendatang atau orang kaya, belum lagi untuk keperluan ibadah keagamaan seperti naik haji, upacara lingkaran kehidupan seperti mengawinkan anak atau untuk usaha keluarga berdagang atau jasa yang bercorak tradisional, dan karena lemahnya kemampuan manajemen menyebabkan bangkrutnya usaha dagang atau jasa tersebut. Belum lagi diantara mereka ada yang terlilit hutang kepada kepada rentenir dengan menggunakan jaminan rumah atau tanah mereka. Habisnya tanah warisan mengharuskan mereka tersingkir dari pusat kota kepinggiran dan terlibat dalam lingkungan pemukiman kumuh.
  3. Transportasi dan jaringan jalan. Tidak ada satu kotapun di Indonesia yang tidak mengalami kemacetan lalu lintas dan tidak mengalami kesukaran transportasi umum bagi warganya. Hal ini disebabkan perencanaan perkotaan dan transportasi yang tidak akomodatif dan antisipatif terhadap perkembangan perkotaan. Dampak negatif dari kemacetan dan kesemarawutan transportasi serta tidak cukupnya jaringan jalan serta angkutan umum adalah (1) kendaraan umum berisi penumpang yang padat, kondisi ini mewujudkan terjadi berbagai kejahatan dan pelanggaran norma-norma kesopanan dan susila, (2) kepadatan kendaraan umum menyebabkan kemacetan yang panjang akibat antrian penumpang, berhenti disembarang tempat dan rusaknya jaringan jalan, (3) kemacetan yang panjang juga menghabiskan energi dan merusak perekonomian kota itu sendiri, (4) kurangnya angkutan umum layak yang disediakan oleh pemerintah dan tingginya kebutuhan masyarakat atas angkutan umum, menyebabkan warga menerima apa saja jenis angkutan umum yang tersedia meskipun tidak layak jalan dan layak pandang lagi, dan (5) kurangnya angkutan umum juga menyebabkan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor yang dapat menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalulintas dan pencurian kendaraan bermotor, tingginya penggunaan kendaraan roda empat pribadi yang semakin menambah beban sarana transportasi dan kemacetan.
  4. Penyerobotan tanah. Tanah-tanah diperkotaan bukan lagi bernilai alamiah tetapi telah menjadi komoditi dan bahkan menjadi aset atau kapital. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa kasus-kasus penyerobotan tanah-tanah milik negara, perusahaan atau perorangan sering terjadi di kota. Para penyerobot dapat dibedakan atas para pemukim liar (squatter) yang rata-rata sangat miskin dan menduduki tanah milik orang lain karena kepentingan untuk bermukim bukan untuk dijadikan aset atau kapital. Kategori penyerobot yang lain adalah para spekulan yang berusahan menguasai suatu lahan tanah dengan menggunakan kekuasaan oknum Polri atau TNI atau aparat pemerintah daerah atau dengan menggunakan dokumen kepemilikan yang palsu atau dipalsukan atau dengan memanfaatkan dan memprovokasi solidaritas warga para penggarap tanah milik orang lain.
  5. Stress, frustrasi berkepanjangan dan masa bodoh. Sebuah kota dengan berbagai permasalahannya dari aspek politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan keamanan terwujud secara nyata dalam kehidupan warganya seperti kepadatan hunian, kebisingan, kemacetan, jalan rusak, masalah air, listrik, gas, sanitasi.MCK, banjir, polusi air-tanah dan udara, naiknya harga sembako, pedagang kaki lima, penyerobotan tanah, penggusuran pemukiman, sempitnya ruang publik, sulitnya mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan sekolah, pekerjaan, pengangguran, kejahatan jalanan sampai dengan kewajiban berbagai retribusi dan pajak dan masalah-masalah sengketa dalam bisnis. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan dan tempat yang berdampingan, sebagian kelompok orang kaya dan pejabat pemerintahan dengan mudah mendapatkan berbagai sarana dan kemewahan serta kekuasaan untuk mengusai sumber-sumber ekonomi dan politik. Kesenjangan atau gap atas kondisi ini yang mewujudkan potensi konflik komunal disatu sisi dan berbagai permasalahan pribadi seperti stress, frustrasi dan masa bodoh disisi yang lain.

 

Urban Crime

Telah dijelaskan diatas bahwa perkembangan suatu wilayah perkotaan, industri, masyarakat dan berbagai masalah sosial yang mengikutinya merupakan faktor penentu terwujudnya kriminalitas atau kejahatan di perkotaan (epidemiologi kriminal) sehingga sebuah kota dengan sendirinya juga merupakan produsen dari kejahatan yang terwujud di perkotaan (criminogenic).

Kajian wilayah perkotaan ini menjadi semakin menarik karena terdapat korelasi yang sangat signifikan antara ketidakmampuan daya dukung lingkungan kota, industrialisasi yang lebih berorientasi kepentingan ekonomi dan urbanisasi yang tidak terkendali telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial bagi warga kota itu sendiri (epidemiologi kriminalitas) yang bermuara kepada terbentuknya berbagai kejahatan di perkotaan (urban crime).

Berbagai studi yang mempelajari kejahatan di perkotaan pada umumnya dapat dibedakan atas dua jenis. Pertama, dengan melakukan perbandingan atas beberapa kota untuk memahami kenapa tingkat kejahatan disatu kota lebih tinggi ketimbang kota yang lain. Dan kedua, untuk menjelaskan mengenai jenis-jenis dan tingkatan kejahatan didalam kota-kota tersebut. Meskipun demikian, untuk mempelajari dua jenis studi kejahatan di perkotaan tersebut, juga menggunakan teori yang sama dan difokuskan pada kekuatan dan masalah sosial dari kota yang bersangkutan. Pada umumnya teori yang digunakan untuk studi mengenai kejahatan di perkotaan (urban crime) adalah teori-teori social disorganization, subculture dan teori conflict.

Teori ketidakteraturan sosial (social disorganization) memusatkan perhatiannya terhadap karakteristik kota dan lingkungan mempengaruhi tingkat kejahatan. Dampak negatif dari hubungan antar sukubangsa dalam masyarakat yang heterogen, tingkat mobilitas penduduk yang sangat tinggi, dan status sosioekonomi yang rendah untuk mampu mencegah terjadinya kejahatan. Teori ini juga menjelaskan melalui pendekatan sosial makro bahwa studi mengenai kejahatan di perkotaan juga telah mengidentifikasi sejumlah ketidakteraturan (disorganize) yang disebabkan karena keluarga yang kacau (family disruption), keluarga miskin (relative poverty), pemukiman kumuh (poor housing condition), rendahnya pendidikan (low level of education) dan pemisahan sukubangsa atau ras secara eksklusif (racial segregation). Teori social disorganization merujuk kepada ketidakmampuan warga untuk memobilisasi nilai-nilai bersama dalam memelihara kontrol sosial.

Teori sub kebudayaan (subculture theory) menjelaskan bahwa kejahatan di perkotaan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu sub kebudayaan kekerasan (subculture of violence) dan su kebudayaan kemiskinan (subculture of poverty). Kedua jenis tersebut meyakini bahwa masing-masing kelompok membawa seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan. Tesis tentang sub kebudayaan kekerasan meyakini bahwa tingkat kejahatan yang tinggi adalah hasil sebuah kebudayaan dimana kejahatan secara umum dan kekerasan pada khususnya merupakan jenis perilaku yang bisa diterima dalam lingkup sub kebudayaan komuniti yang bersangkutan. Para pendukung sub kebudayaan kekerasan lebih cepat untuk melakukan kekerasan dibandingkan dengan para pendukung sub kebudayaan lainnya.

Para ahli menyatakan bahwa pentingnya lembaga-lembaga sosial yang ada didalam masyarakat untuk memberikan pencerahan dan kontribusi yang positif terhadap tumbuh dan berkembangnya sub kebudayaan yang lebih kondusif, yaitu sub kebudayaan yang tidak menerima atau membenarkan cara-cara kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah sosial. Tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial yang ada seperti mesjid, majelis taklim, gereja, sekolah dan keluarga, tentunya akan membuat kelompok masyarakat tertentu yang minoritas dalam lingkungan sub kebudayaan kekerasan akan kehilangan kesempatan untuk belajar tentang norma-norma dan nilai-nilai konvensional yang tanpa kekerasan. Hasil dari proses ini adalah bahwa beberapa kelompok tertentu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menggunakan kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya dan kekerasan diterima sebagai cara untuk menyelesaikan masalah.

Penjelasan dari sub kebudayaan kemiskinan lebih difokuskan pada kejahatan di perkotaan ketimbang sub kebudayaan kekerasan. Sub kebudayaan kekerasan memberikan penjelasan atau kejahatan yang terjadi pada masyarakat perkotaan maupun yang bukan tinggal di perkotaan. Sub kebudayaan kemiskinan terutama berkaitan dengan perilaku kriminal di pemukinan kumuh di tengah kota. Tesis utamanya adalah bahwa pada lingkungan pemukiman kumuh di perkotaan berkembang nilai-nilai dan norma-norma untuk tidak bekerja atau bernivestasi (baik dengan uang ataupun tenaga), yang penting bekerja seadanya, tidak perlu kerja keras dan yang penting terpenuhi kebutuhan hari itu. Mereka para pendukung kebudayaan ini tidak terdorong untuk meraih kesuksesan, tidak sabar dan tekun, dan ingin serba cepat mendapatkan hasil, serta bertindak tanpa berfikir panjang, sehingga seringkali tindakan yang dilakukan dan usaha yang dijalankan berujung pada perilaku kriminal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selanjutnya yang paling menonjol dari teori konflik adalah sebuah penjelasan yang difokuskan atas adanya kesenjangan penghasilan. Disini para ahli beragumentasi bahwa frustrasi adalah akibat samping kesenjangan penghasilan yang diangkat sebagai ketidakadilan dari orang-orang ditingkat bawah. Kesenjangan sturuktur sosial yang didasarkan atas sukubangsa sering juga digunakan untuk menjelaskan mengapa masyarakat perkotaan (terutama kulit hitam dan latin di AS) mempunyai tingkat kejahatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat secara umum. Aliran Marxis menjelaskan bagaimana terdapat kontradiksi yang ada pada kapitalisme tingkat tinggi justru membuat kejahatan lebih mungkin terjadi, terutama di pemukiman padat. Kebanyakan kritik menyatakan bahwa teori konflik kurang akurat atau lebih didasarkan faktor politis karena bukan kesenjangan pendapatan yang menyebabkan terjadinya kejahatan, akan tetapi kemiskinan absolut itu sendiri penyebabnya.

 

ooo000ooo

Kepustakaan

Parsudi Suparlan, Masyarakat & Perkotaan: Perspektif Antropologi Perkotaan

JJM. Van Dijk, HI.Sagel-Grande, LG.Toornvillet, Kriminologi Aktual (Actuele Criminologie) – terjemahan

Heather Strang & Julia Vernon: International Trends in Crime

Rusli Ramli, Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kakilima

Sapari Imam Asy’ari, Sosiologi Kota & Desa

Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan,

 

[1]Kombes Dr. Rycko Amelza Dahniel, M.Si, Kapolres Metropolitan Jakarta Utara, Pengajar pada KIK-UI dan Departemen Kriminologi UI, 2009.

[2] Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari faktor yang mempengaruhi kesehatan dan sakitnya suatu populasi(Clayton, David and Michel Hills (1993) Statistical Models in Epidemiology Oxford University Press)