Pengelolaan Mobilitas Penduduk

Pengelolaan Mobilitas Penduduk guna Mencegah Konflik Sosial dalam rangka Ketahanan Nasional

Oleh: Dr. Rycko Amelza Dahniel

 Pendahuluan

Makalah singkat ini akan menjelaskan bahwa pengelolaan mobilitas penduduk yang terjadi tidak secara reguler (irreguler movement of persons) sangat berpotensi menimbulkan gangguan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan bila tidak dikelola secara antisipatif dan komprehensif dapat berubah menjadi ancaman dan tantangan serius bagi Ketahanan Nasional.

Mobilitas penduduk yang terjadi tidak secara reguler atau irregular movement of persons (IMP) merupakan sebuah terminologi yang biasanya digunakan untuk para imigran gelap dari suatu negara yang memasuki negara lain untuk mencari perlindungan atau mengungsi. Dalam makalah ini, terminologi ini juga dapat digunakan pada mobilitas penduduk domestik yang terjadi tidak secara reguler, yang juga menimbulkan dapat dampak gangguan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, mobilitas penduduk yang terjadi secara tidak reguler dapat dibedakan berdasarkan ruang mobilitas dan dampak yang ditimbulkannya. Pertama, mobilitas domestik atau domestic irregular movement of person dalam bentuk urbanisme, dan kedua mobilitas antar negara atau inter-state irregular movement of persons dalam bentuk asylum seekers dan refugees, termasuk people smugling dan traficking in person.

Urbanisme: domestic irregular movement of persons  

Urbanisasi merupakan salah satu dari masalah dari pertumbuhan sebuah kota. Urbanisasi merupakan perpindahan penduduk dari pedesaan menuju daerah perkotaan. Yang menjadi masalah adalah warga dari daerah pedesaan yang ingin mengadu nasib di perkotaan, namun hanya memiliki kemampuan keahlian yang terbatas atau rendah, dan karena itu hidup sebagai pekerja kasar atau buruh dipabrik-pabrik dengan upah yang relatif rendah. Para pekerja pendatang ini pada umumnya laki-laki dan perempuan dengan rata-rata usia produktif atau orang-orang muda bujangan atau bujangan lokal yang tinggal berdesakan di sekeliling tempat mereka bekerja dengan cara menyewa atau kontrak kamar-kamar secara bergotong royong untuk meringankan beban pembayaran sewa kontrak sesuai dengan gaji buruh yang diterima dari pabrik. Beberapa masalah sosial susulan yang ditimbulkan dari urbanisasi yang tidak terkendali dan terkelola dengan antara lain:

  1. Kemiskinan, daerah kumuh atau liar dan penataan ruang. Kemiskinan muncul dan semakin nampak mencolok keberadaannya di daerah perkotaan karena kontras dengan kekayaan yang menjadi ciri dari kehidupan perkotaan. Secara garis besar para penderita kemiskinan dikota adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan keahlian yang berguna dalam kegiatan industri dan perekonomian di perkotaan. Golongan ini dapat berasal dari penduduk asli setempat dan para pendatang. Penduduk asli setempat yang sudah tergolong miskin sebelum berkembangnya kota menjadi pusat industri dan ekonomi pasar, hanya memiliki pendidikan rendah dan pas-pasan, serta tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan industri dan pasar. Kemampuan bertahan para penduduk asli setempat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah dengan menjual tanah warisan kepada para pendatang atau orang kaya, belum lagi untuk keperluan ibadah keagamaan seperti naik haji, upacara lingkaran kehidupan seperti mengawinkan anak atau untuk usaha keluarga berdagang atau jasa yang bercorak tradisional, dan karena lemahnya kemampuan manajemen menyebabkan bangkrutnya usaha dagang atau jasa tersebut. Belum lagi diantara mereka ada yang terlilit hutang kepada kepada rentenir dengan menggunakan jaminan rumah atau tanah mereka. Habisnya tanah warisan mengharuskan mereka tersingkir dari pusat kota kepinggiran dan terlibat dalam lingkungan pemukiman kumuh. Pemukiman kumuh hidup dengan berbagai keterbatasan atas air, sanitasi serta fasilitas lainnya untuk pemukiman. Keberadaan perkampungan kumuh, disamping akan menimbulkan masalah bagi lingkungan atas pemakaian air, tanah, sungai, sanitasi, sampah dan tata ruang, juga akan memproduksi masalah-masalah sosial dan kejahatan.
  2. Penambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Masalah lain dari urbanisasi adalah penambahan penduduk kota yang tidak terkontrol sehingga sulit untuk melakukan pengawasan kependudukan.
  3. Transportasi dan jaringan jalan. Tidak ada satu kotapun di Indonesia yang tidak mengalami kemacetan lalu lintas dan tidak mengalami kesukaran transportasi umum bagi warganya. Hal ini disebabkan perencanaan perkotaan dan transportasi yang tidak akomodatif dan antisipatif terhadap perkembangan perkotaan. Dampak negatif dari kemacetan dan kesemarawutan transportasi serta tidak cukupnya jaringan jalan serta angkutan umum adalah (1) kendaraan umum berisi penumpang yang padat, kondisi ini mewujudkan terjadi berbagai kejahatan dan pelanggaran norma-norma kesopanan dan susila, (2) kepadatan kendaraan umum menyebabkan kemacetan yang panjang akibat antrian penumpang, berhenti disembarang tempat dan rusaknya jaringan jalan, (3) kemacetan yang panjang juga menghabiskan energi dan merusak perekonomian kota itu sendiri, (4) kurangnya angkutan umum layak yang disediakan oleh pemerintah dan tingginya kebutuhan masyarakat atas angkutan umum, menyebabkan warga menerima apa saja jenis angkutan umum yang tersedia meskipun tidak layak jalan dan layak pandang lagi, dan (5) kurangnya angkutan umum juga menyebabkan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor yang dapat menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalulintas dan pencurian kendaraan bermotor, tingginya penggunaan kendaraan roda empat pribadi yang semakin menambah beban sarana transportasi dan kemacetan.
  4. Penyerobotan tanah. Tanah-tanah diperkotaan bukan lagi bernilai alamiah tetapi telah menjadi komoditi dan bahkan menjadi aset atau kapital. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa kasus-kasus penyerobotan tanah-tanah milik negara, perusahaan atau perorangan sering terjadi di kota. Para penyerobot dapat dibedakan atas para pemukim liar (squatter) yang rata-rata sangat miskin dan menduduki tanah milik orang lain karena kepentingan untuk bermukim bukan untuk dijadikan aset atau kapital. Kategori penyerobot yang lain adalah para spekulan yang berusahan menguasai suatu lahan tanah dengan menggunakan kekuasaan oknum Polri atau TNI atau aparat pemerintah daerah atau dengan menggunakan dokumen kepemilikan yang palsu atau dipalsukan atau dengan memanfaatkan dan memprovokasi solidaritas warga para penggarap tanah milik orang lain.
  5. Stress, frustrasi berkepanjangan dan masa bodoh. Sebuah kota dengan berbagai permasalahannya dari aspek politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan keamanan terwujud secara nyata dalam kehidupan warganya seperti kepadatan hunian, kebisingan, kemacetan, jalan rusak, masalah air, listrik, gas, sanitasi.MCK, banjir, polusi air-tanah dan udara, naiknya harga sembako, pedagang kaki lima, penyerobotan tanah, penggusuran pemukiman, sempitnya ruang publik, sulitnya mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan sekolah, pekerjaan, pengangguran, kejahatan jalanan sampai dengan kewajiban berbagai retribusi dan pajak dan masalah-masalah sengketa dalam bisnis. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan dan tempat yang berdampingan, sebagian kelompok orang kaya dan pejabat pemerintahan dengan mudah mendapatkan berbagai sarana dan kemewahan serta kekuasaan untuk mengusai sumber-sumber ekonomi dan politik. Kesenjangan atau gap atas kondisi ini yang mewujudkan potensi konflik komunal disatu sisi dan berbagai permasalahan pribadi seperti stress, frustrasi dan masa bodoh disisi yang lain.
  6. Urban crime. Perkembangan wilayah perkotaan, industri, masyarakat dan berbagai masalah sosial yang mengikutinya merupakan faktor penentu terwujudnya kriminalitas atau kejahatan di perkotaan (epidemiologi kriminal) sehingga sebuah kota dengan sendirinya juga merupakan produsen dari kejahatan yang terwujud di perkotaan (criminogenic). Kajian wilayah perkotaan ini menjadi semakin menarik karena terdapat korelasi yang sangat signifikan antara ketidakmampuan daya dukung lingkungan kota, industrialisasi yang lebih berorientasi kepentingan ekonomi dan urbanisasi yang tidak terkendali telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial bagi warga kota itu sendiri (epidemiologi kriminalitas) yang bermuara kepada terbentuknya berbagai kejahatan di perkotaan (urban crime).

Ciri-ciri urbanisme

Louis Wirth (1968 dalam Suparlan, 2004), seorang tokoh sosiologi perkotaan, melihat salah satu dari aspek kehidupan masyarakat kota yang berbeda dari kehidupan di desa, yaitu yang impersonal dan yang terbuka. Ciri-ciri kehidupan kota yang impersonal dan terbuka tersebut dinamakan urbanisme (urbanism) atau cara hidup perkotaan. Adapun ciri-ciri yang menandai urbanisme tersebut adalah:

  1. Transiensi atau orang kota tidak dapat mengenal semua orang dikotanya karena kota adalah seperti kerumunan manusia, mereka datang dan pergi secara terus menerus, sehingga seorang warga kota tidak dapat dan tidak mampu untuk mengenal semua mereka itu. Karena itu hubungan yang terjadi diantara orang kota lebih bersifat superficial atau dibuat-dibuat.
  2. Anonomiti atau tidak dikenalnya identitas pribadi. Ini merupakan akibat dari tidak mampu atau tidak dapat mengenal semua orang yang ada di kota, sehingga tidak merasa perlu untuk mengenal atau dikenal. Seorang warga kota dapat bergerak atau melakukan kegiatan-kegiatan diantara sesama warga kota tanpa harus sungkan karena dia tidak dikenal atau anonim.
  3. Kehidupan kota menghasilkan tingkat mobilitas yang tinggi, yaitu warga kota harus mempunyai tingkat penyesuaian yang tinggi terhadap lingkungannya yang selalu berubah atau transien.

Pengungsi dan pencari perlindungan: Interstate Irregular Movement of Persons

Makalah ini juga ingin membuka mata dan memberikan atensi kepada para stakeholders atas berbagai permasalahan yang terjadi dalam penanganan Irregular Movement Of Persons yang masuk ke, ingin menetap atau transit akan keluar wilayah teritorial Indonesia.

Berbagai current issues yang terjadi di kawasan regional sebagai dampak dari perkembangan geopolitik, geoekonomi dan geosekuriti sebuah negara dan antar negara, seperti sengketa Laut Cina Selatan, memanasnya hubungan dua Korea disusul isu percobaan senjata nuklir oleh Korea Utara, permasalahan etnis Rohingya di Mynamar, krisis politik di Arab Spring, dan berbagai masalah ekonomi dan kemiskinan di Afganistan, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka, telah menghasilkan berbagai isu kawasan, salah satunya adalah Irregular Movement Of Persons (IMP)dalam bentuk asylum seekers dan refugees, baik yang telah mendapatkan status, akan mengajukan, maupun belum sama sekali mendapatkan Surat Keterangan Pengesahan (Attestation Letter) dari UNHCR, belum lagi ditambah dengan penyelundupan (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons).

Berbagai persoalan mulai muncul ketika gelombang pengungsi dan pencari perlindungan datang dalam skala yang besar, sporadis, keluar-masuk wilayah Indonesia tidak melalui pintu-pintu keimigrasian yang resmi, fasilitas dan pengawasan penampungan yang sangat tidak memadai, pengawasan keberadaan dan alih status yang sulit terpantau oleh petugas Imigrasi, UNHCR dan IOM, berbaurnya dengan penduduk lokal melalui perkawinan, dan berbagai dampak sosial, budaya dan keamanan yang harus menjadi perhatian para stakeholders untuk segera tanggap dalam penanganan IMP yang akan dan telah masuk, serta akan keluar wilayah teritorial Indonesia menuju negara ketiga.

Irregular Movement Of Persons Tanggung Jawab Bersama

Sebuah Jakarta Declaration on Addressing IMP baru saja dideklarasikan oleh sejumlah negara di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2013[1]. Para Menteri Luar Negeri dan para Perwakilan Tingkat Tinggi Negara, menegaskan bahwa penanganan IMP yang komprehensif bagi negara origin, transit dan tujuan menjadi sangat penting untuk memperkuat stabilitas kawasan dan mendorong terciptanya kondisi yang kondusif khususnya bagi negara-negara yang terdampak seperti Australia, Indonesia, Malaysia, Philippines, Bangladesh, Cambodia, Myanmar, New Zealand, Afghanistan, Pakistan, Papua New Guinea, Sri Lanka, dan Thailand.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari lebih 17.000 pulau, dengan panjang garis pantai lebih dari 95.181 km (data UN, 2008), tentunya permasalahan IMP menjadi sangat penting untuk ditangani secara sinergi, holistik, komprehensif dan integral dari semua stakeholders. Indonesia dipandang sebagai negara yang sangat strategis untuk menetap atau transit sebelum mencapai negara tujuan seperti seperti Australia. Sebagai contoh pada tanggal 23 Juli 2013 sebanyak 16 kapal nelayan yang mengangkut 220 pengungsi asal Irak, Iran dan Srilanka hancur dihantam ombak dilepas pantai Cidaun Cianjur Selatan ketika akan mencoba menuju kapal besar yang sudah menunggu ditengah laut dan akan membawa ke Christmans Island. 120 orang dapat ditemukan selamat, 14 meningal dunia dan sisanya belum dapat ditemukan. Juga tanggal 11 Agustus 2013 ditemukan 57 imigran gelap dari Myanmar dan Somalia yang bersembunyi di Desa Samboang, Bulukumba, Sulawesi Selatan oleh petugas gabungan Polres Bulukumba dan petugas imigrasi[2]. Pada tanggal 22 Agustus 2013 sebanyak 29 imigran gelap asal Afghanistan ditangkap di Terminal Ajibarang Banyumas, Jawa Tengah[3]. Dan selanjutnya pada 27 Agustus 2013 sebanyak 91 pencari suaka asal Iran yang hendak mencari suaka ke Australia melalui perairan Sumba, terdampar di pesisir pantai Mburukulu, Sumba Timur[4].

Fakta yang terjadi pada bulan Agustus 2013 saja, cukup memberikan gambaran bahwa wilayah perairan Indonesia begitu terbuka, sehingga permasalahan IMP bisa terjadi dimana saja diseluruh wilayah Indonesia. Masalah ini serius dan harus ditangani secara khusus, bukan sekedar bussiness as usual. Berdasarkan data United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) Agency Indonesia, bahwa hingga tanggal 31 Januari 2013 tercatat di Indonesia ada 8.584 orang yang terdiri dari 1.823 pengungsi dan 6.761 Pencari Suaka[5]. Jumlah itu adalah yang tercatat karena tertangkap, belum lagi yang bersembunyi atau sedang terdampar di pulau-pulau terluar Indonesia yang demikian luas, yang belum sepenuhnya dihuni, belum seluruhnya ada pelabuhan dan pintu imigrasi, dan belum seluruhnya terpantau oleh petugas keamanan laut dan TNI AL.

Penanganan IMP sangat multidimensional yang melibatkan berbagai persoalan dari negara origin, negara transit dan negara tujuan. Negara origin IMP agar memastikan kondisi politik, sosial dan ekonomi negaranya terkendali sehingga akan mreduksi warga negaranya untuk melakukan migrasi. Begitu juga dengan isu hak asasi manusia, isu ras dan agama yang sangat sensitf, juga menjadi sangat perlu untuk dijunjung setinggi-tingginya. Jangan sampai terjadi kondisi yang membuat warga negaranya menjadi merasa sebagai kelompok minoritas yang tersisihkan dan tidak dikehendaki keberadaannya, serta takut untuk berada di negaranya sendiri. Banyaknya suku Rohingya yang telah keluar dari Myanmar dan melakukan irregular movement menuju negara tetangga, menunjukkan bahwa masih terjadinya diskriminasi, kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas. Negara transit juga turut bertanggung jawab dan memberikan bantuan untuk memantau, mendatakan dan mengontrol para IMP. Negara tujuan, seperti Australia, yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan semula sangat terbuka untuk menerima IMP. Sejak Juli 2013 para pengungsi dan pencari suaka tujuan Australia akan dikirim ke Papua Nugini, berdasarkan kesepakatan PM Australia Kevin Rudd dan PM Papua Nugini Peter O’Neill[6]. Namun PM Australia yang baru, Tonyy Abbot justru akan mengeluarkan kebijakan “stop the boats”, dan memerintahkan Angkatan Laut Australia membelokan semua IMP kembali ke Indonesia yang berusaha memasuki teritorial Australia. Kebijakan ini banyak ditentang oleh organisasi dan aktivis HAM, lebih dari itu Indonesia bukan saja menjadi negara transit, tapi sekaligus tujuan.

Peran aktif dan kebijakan politik luar negeri Indonesia

Permasalahan IMP sangat multidimensional sehingga pentingnya tanggung jawab dan kebersamaan dari negara-negara yang terdampak. Sebagaimana ditegaskan Presiden RI dalam Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 2013, bahwa :“Dalam situasi dunia seperti ini, dan ketika hubungan internasional semakin kompleks dan dinamis, suatu paradigma baru diperlukan. Indonesia berpandangan sangatlah penting untuk mengedepankan semangat kebersamaan antar-negara, bagi tercapainya stabilitas bersama, keamanan bersama, dan kemakmuran bersama. Posisi kita sangatlah jelas. Indonesia berketetapan untuk senantiasa menjadi bagian dari solusi terhadap berbagai persoalan global.”[7]

Pendekatan yang sangat berlandaskan pada semangat kebersamaan ini, telah mendorong Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Agustus 2013 di Jakarta, menyelenggarakan, memfasilitasi dan memprakarsai lahirnya deklarasi dari negara yang terdampak oleh IMP. Deklarasi ini merupakan langkah awal yang mendorong direalisasikannya komitmen dari negara asal, negara transit dan negara tujuan.

Disisi lain dalam rangka Kewaspadaan dan Ketahanan Nasional, pemerintah Indonesia juga harus menyusun sebuah strategi khusus dalam mengantisipasi situasi yang khusus yaitu semakin meningkatnya gelombang pengungsi dan pencari suaka (IMP), belum lagi bila diboncengi dengan penyelundupan (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking inf persons). Oleh karena itu peningkatan kapasitas keamanan laut, imigrasi, kependudukan, dinas sosial, yang bekerjasama secara terpadu dalam satu satuan khusus satu atap, bersama-sama dengan Polri, TNI AL, serta IOM dan UNHCR menjadi sangat mendesak untuk memantau, mendatakan, mengendalikan, dan memenuhi hak-hak dasar para pengungsi dan pencari suaka, serta melakukan analisis dan mereduksi terjadinya dampak sosial, budaya dan keamanan di lokasi-lokasi penampungannya.

Penutup

  1. Urbanisme terjadi karena warga dari daerah tidak mendapatkan kesempatan dan tidak memiliki harapan atas kehidupan yang layak. Hal ini disebabkan karena pembangunan didaerah yang tidak berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, tidak mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan tidak mampu menciptakan inovasi-inovasi baru berdasarkan kekayaan alam dan nilai-nilai budaya. Kepemimpinan didaerah yang berkualaitas ditambah dengan kepedulian dan keseriusan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pembangunan menjadi kunci terjadinya urbanisai.
  2. Filsafat kemanusian dalam nilai-nilai Pancasila mengajarkan untuk menjujung tinggi nilai-nilai kemanusian tanpa dibatasi oleh berbagai perbedaan, termasuk kebangsaan dan kewarganegaraan. Penanganan IMP haruslah menjujung tinggi kemanusian yang bertanggung jawab, artinya negara origin harus bertanggung jawab memberikan ruang dan kondisi hidup yang memungkinkan terjadinya kelangsungan hidup yang beradab, sehingga mampu mereduksi terjadinya IMP dengan alasan apapun. Demikian pula, negara transit dan tujuan juga turut memberikan perlindungan kepada IMP dengan alasan kemanusiaan yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan dengan alasan kemanusian, bukan dimanfaatkan untuk melakukan eksploitasi manusia melalui people smuggling dan trafficking in persons.

 

Jakarta, 13 September 2013

 

 

[1] Jakarta Declaration On Addressing Irregular Movement of Person, Jakarta, 20 Agutus 2013

[2]http://news.okezone.com/read/2013/08/11/340/848759/lagi-57-imigran-gelap-diamankan-di-bulukumba

[3]http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/08/22/169176/29-Imigran-Gelap-Ditangkap-di Ajibarang

[4]http://www.tempo.co/read/news/2013/08/27/058507738/91-Imigran-Gelap-Asal-Iran-Diamankan-di-Sumba

[5]http://www.unhcr.or.id/images/pdf/publications/operational_fact_sheet_march_2013.pdf

[6]http://www.cbc.ca/news/world/story/2013/07/19/australia-papua-new-guinea-refugees.html

[7] Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT ke-68 Proklamasi Kemerdekaan RI : http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2013/08/16/2172.html