Kajian Birokrasi dalam Ilmu Kepolisian
Oleh : Dr. Rycko Amelza Dahniel
Abstrak
Hakekat epistemologi ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang multibidang atau antarbidang tidak perlu dipertentangkan karena merupakan sebuah keniscayaaan alamiah dari sebuah evolusi ilmu pengetahuan yang coraknya akumulatif dan pengkayaan epistemologis yang bercorak eklektis. Lebih dari itu sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan juga harus mencakup kajian empirik atas ontologi dan aksiologi, termasuk metodologinya. Eksistensi ilmu kepolisian harus ditunjukkan dengan adanya lembaga ilmiah untuk pengembangannya, memiliki perkumpulan ilmuwan dengan berbagai produk ilmiah yang terpublikasi secara periodik guna peningkatan kualitas umat manusia.
Ilmu kepolisian
Setelah Prof. Harsya Bachtiar menjelaskan konsep Ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang dibangun berdasarkan multibidang (multi disciplinary), maka Prof. Parsudi Suparlan menjelaskannya melalui pendekatan yang antarbidang (inter disciplinary). Perbedaan cara memandang ini tidak selalu harus untuk dipertentangkan, namun harus dipahami sebagai sebuah perkembangan yang alamiah dari sebuah evolusi ilmu pengetahuan yang coraknya akumulatif dan pengkayaan epistemologis ilmu yang bercorak eklektis, yang diserap melalui metoda ilmiah dengan menggabungkan cara berfikir pada proses deduktif rasional dengan induktif empirik (logico-hypotetico-verificative). Lebih dari itu, bahwa ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan tidak saja dibangun melalui epistemologi yang bercorak akumulatif dan eklektis, namun juga harus mencakup kajian empirik atas ontologi dan aksiologi, termasuk metodologinya.
Makalah singkat ini secara khusus didedikasikan untuk mengenang Prof. Parsudi Suparlan, PhD[2] dalam rangka memperingati satu tahun wafatnya seorang bapak, guru dan rekan diskusi, serta sebagai ungkapan cinta kasih kepada pahlawan yang mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan dan memperjuangkan ilmu kepolisian di Indonesia. Dalam kesempatan ini saya ingin mengenang dan mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada Prof. Parsudi Suparlan, PhD sejak pertama kali bertemu dalam perkuliahan, diskusi dan menjadi promotor penulisan disertasi meskipun tidak sampai selesai karena beliau lebih dahulu dipanggil pulang oleh Allah, Sang Pencipta, namun telah merubah cara memandang saya terhadap gejala-gejala sosial yang ternyata tidak selalu dapat dikuantifikasi, akan tetapi juga harus dapat dipahami sebagai satuan gejala yang naturalistik, interpretif dan hermeneutik secara holistik. Semoga Tuhan Yang Pengasih menerima amal ibadah beliau.
Ilmu kepolisian sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan lembaga kepolisian
Pengertian ilmu kepolisian, selain yang dijelaskan oleh Prof. Harsya Bachtiar dan Prof. Parsudi Suparlan, saya juga ingin memperkaya pemahaman ilmu kepolisian dan melihatnya sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan lembaga kepolisian.
Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan
Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan, maka disamping harus memiliki paradigma sendiri yang dibentuk secara epistemology yang becorak akumulatif dan eklektis, secara filsafat keilmuan juga harus mampu menjelaskan ontology (fokus telaah), aksiologi (kemanfaatan bagi umat manusia) dan metodologi (prosedur pengujian) keilmuannya. Ontology dengan berbagai teori memberikan seperangkat kerangka kerja (framework), sedangkan epistemology memberikan seperangkat pertanyaan, dan metodologi dengan analisisnya memberikan seperangkat cara untuk melakukan pengujian.
Mempelajari fungsi kepolisian
Sebagai ilmu yang mempelajari fungsi kepolisian, maka ilmu kepolisian mempelajari upaya-upaya pembinaan masyarakat dalam memelihara keamanan dan ketertiban (pre-emtif), berbagai upaya dalam melakukan pencegahan terjadinya kejahatan (preventif), dan upaya-upaya penegakan hukum (represif), termasuk upaya-upaya penyelidikan dalam rangka pengumpulan data dan informasi (investigatif). Fungsi kepolisian adalah fungsional dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara, oleh karena itu fungsi kepolisian harus dilihat sebagai bagian dari sistem masyarakat dan negara yang secara keseluruhan menunjuk kepada sebuah proses dari berbagai aktivitas operasional yang saling berhubungan dan menghidupi satu dengan lainnya yaitu memproses masukan berupa pembangunan nasional menjadi keluaran berupa keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. Fungsi kepolisian yang tidak saja menjadi tanggung jawab lembaga kepolisian, namun juga masyarakat, baik secara perorangan maupun terorganisir.
Upaya-upaya pembinaan masyarakat merupakan pelaksanaan dari fungsi pre-emtif disebut juga indirect prevention atau parallel dengan public health dalam dunia kesehatan, merupakan segala usaha dan kegiatan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara dan membina keamanan dan ketertiban, menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, serta meningkatkan ketaatan warga terhadap berbagai peraturan perundangan yang berlaku. Upaya pembinaan masyarakat juga termasuk berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh berbagai masukan dari masyarakat mengenai isu-isu sosial yang berkembang, berbagai konvensi sosial dan nilai-nilai budaya yang disepakati dan dijadikan acuan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam rangka menciptakan keteraturan sosial. Produk dari upaya pembinaan masyarakat adalah terwujudnya pemetaaan (mapping) berbagai faktor-faktor yang dapat menimbulkan berbagai gangguan dan potensi konflik, meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan sosialnya, serta meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat.
Upaya-upaya pencegahan merupakan pelaksanaan dari fungsi preventive atau direct prevention parallel dengan preventive medicine dalam dunia kesehatan, merupakan segala usaha dan kegiatan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum dilakukan dengan mereduksi lahirnya niat dan kesempatan melakukan kejahatan melalui perbaikan infrastruktur perkotaan dan kehadiran petugas keamanan secara fisik. Produk dari upaya ini adalah terbangunnya pemetaan tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan masyarakat yang memerlukan kehadiran petugas keamanan (police hazard), kebutuhan infrastruktur perkotaan dalam bentuk berbagai fasilitas umum yang diperlukan guna mereduksi terjadinya kejahatan dan pemetaan kebutuhan kehadiran petugas keamanan pada tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan masyarakat yang memerlukan kehadiran petugas keamanan secara fisik. Upaya-upaya pencegahan tidak saja dilakukan oleh lembaga kepolisian yang berwenang sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku, akan tetapi juga oleh instansi terkait sesuai dengan kewenangannya, masyarakat secara individu maupun terorganisir perlu memiliki pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan tanggung jawab tentang pentingnya untuk melakukan berbagai upaya dan cara-cara yang efektif untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, seperti siskamling, satpam, polisi pamong praja dan tramtib, dalam keadaan tertentu, Polri dibantu oleh TNI, termasuk pemerintah daerah dan pekerjaan umum untuk menyediakan berbagai fasilitas umum, antara lain lampu penerang jalan, halte angkutan umum, pagar pembatas jalan, jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya.
Upaya-upaya penegakan hukum merupakan pelaksanaan dari fungsi represif atau parallel dengan currative medicine dalam kesehatan. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak akan terlepas tujuan dari diadakan hukum dan nilai-nilai dasar pembentuk hukum itu sendiri. Tujuan hukum akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum yaitu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan (Makarim, 2003 dalam Prasetyo dan Barkatullah, 2007). Sementara itu menurut Gustav Radbruch (1961 dalam Nitibaskara, 2006) setidaknya terdapat tiga nilai dasar hukum yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian hukum. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun antara mereka terdapat suatu spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu dengan lainnya yang memiliki potensi saling bertentangan, satu diantara mereka dikedepankan, maka akan menggeser dua nilai yang lain kesamping. Hal ini disebabkan karena masing-masing nilai tersebut memiliki tuntutan yang berlainan satu dengan lainnya dan mengandung potensi saling berhadapan. Apabila nilai kepastian hukum dikedepankan, maka akan segera menggeser nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang paling utama dari nilai kepastian hukum adalah kepastian penegakan atas peraturan itu sendiri, mengenai apakah peraturan itu harus adil atau bermanfaat untuk masyarakat merupakan di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.
Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum dapat berlainan tergantung nilai mana yang akan dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. Ketika orang mulai berlomba-lomba untuk bermain-main hanya dalam kawasan kepastian hukum, maka hukum akan benar-benar menjadi alat untuk membenarkan berbagai kepentingan. Hukum dapat digunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime). Disinilah hukum bisa diseret ke dalam wilayah yang berbahaya, yakni membenarkan kepentingan yang melawan keadilan masyarakat, termasuk berbagai hal yang kurang berguna bagi rakyat (Nitibaskara, 2006).
Keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum yang menghasilkan keadilan, hampir dapat dipastikan tergantung dari para aparat yang menegakkan hukum itu. Oleh karena itu ‘tangan-tangan hukum’ atau para penegak hukum idealnya adalah ‘manusia super’ yang tidak saja memiliki kekuatan otot dan otak akan tetapi lebih dari itu harus memiliki hati nurani atau O2H (otak, otot dan hati nurani, lihat Satjipto Raharjo, 2000). Pertimbangan hati nurani penegak hukum, misalnya anggota Polri sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat diatur dalam kaidah yang disebut dengan diskresi kepolisian.
Ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi kepolisian juga berkaitan dengan berbagai upaya penyelidikan dalam rangka pengumpulan data dan informasi (investigatif), cara-cara mendapatkan data dengan berbagai metoda, melakukan deskripsi data, memilah berbagai data sesuai dengan kebutuhan dan melakukan kategorisasi, sampai dengan menyediakan data secara tepat dan akurat. Data dan informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan isu-isu penting yang sedang berkembang didalam organisasi, lingkungan dan masyarakatnya dan berbagai masalah sosial dalam aspek kehidupan masyarakat.
Mempelajari lembaga kepolisian
Dan sebagai ilmu yang mempelajari lembaga kepolisian, maka ilmu kepolisian mempelajari mengenai struktur hubungan antar peranan dan norma-norma dari sebuah lembaga yang dirasakan penting dan diperlukan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam mempelajari lembaga kepolisian, maka kaidah dalam ilmu kepolisian akan mencakup kegiatan-kegiatan penataan administrasi, manajemen dan organisasi kepolisian. Administrasi merupakan seperangkat metode, instruksi-instruksi, arahan dan pelayanan agar setiap orang bekerja sesuai arah yang telah ditentukan (Wilson, 1887; Dunsire, 1973; Shafritz & Hyde, 1992; Stilman II, 1992; Hughes, 1994). The object of administrative study is to rescue executive methods from the confusion and costliness of empirical experiment and set the upon foundations laid deep in stable principle (Wilson, 1887). Sehingga menurut Woodrow Wilson (1887), organisasi dapat diibaratkan sebagai anatomi administrasi dan manajemen adalah fisiologinya (Djamin, 1995 dan lihat juga 2007). Organisasi sebagai anatomi menunjukkan sebagai struktur formal yang bersifat statis dan manajemen sebagai fisiologi yang bersifat dinamis.
Alasan utama dari pengertian ilmu kepolisian diatas, karena ruang lingkup bahasan mengenai kepolisian selalu berkaitan dengan fungsi dan lembaga kepolisian. Kepolisian sebagai fungsi menunjuk kepada kegiatan-kegiatan operasional yang dilakukan oleh kepolisian. Sementara itu, kepolisian sebagai lembaga menunjuk kepada kegiatan-kegiatan yang penataan administrasi melalui dua pilar utamanya yaitu manajemen sebagai pilar fisiologi dan organisasi sebagai pilar anatomi .
Birokrasi dalam ilmu kepolisian
Birokrasi sebagai bagian dari ilmu kepolisian yang mempelajari lembaga kepolisian. Setelah diberikan gambaran singkat mengenai sudut pandang yang lain dan pengkayaan atas pemahaman ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan, maka makalah ini akan difokuskan pada pemahaman kajian birokrasi dalam ilmu kepolisian yang mempelajari lembaga kepolisian.
Pengertian birokrasi
Istilah birokrasi dikenalkan oleh filsuf Perancis Baron de Grimm, yang berasal dari kata bureau yang berarti meja tulis dimana para pejabat pada saat itu bekerja dibelakangnya (Albrow, 1996; Setiono, 2002; Sarundajang, 2003). Oleh karena itu menurut Weber (Albrow, 1989) sebuah organisasi birokrasi adalah organisasi yang didasarkan pada konsep pejabat (beamter) yang merupakan dasar bagi konsep tentang birokrasi, dengan kata lain satuan administrasi tentang pejabat yang diangkat merupakan sebuah organisasi birokrasi. Pada masyarakat yang modern, seorang pejabat dalam organisasi adalah seseorang yang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan, dan kepadanya diberikan fasilitas dan sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas, dimana fasilitas dan sumberdaya itu yang diberikan oleh manusia lain, bukan oleh sipemegang peranan. Seorang pejabat birokrasi adalah manusia yang diangkat, bukan dipilih atau seseorang yang diseleksi oleh sekumpulan manusia dan perbedaan antara pejabat dengan seorang pekerja yang bukan pejabat adalah pada otoritas yang dimiliki oleh pejabat. Pejabat yang diangkat dan memiliki otoritas dapat berasal dari organisasi bisnis maupun organisasi publik atau pemerintah yang melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Tugas pemerintah adalah untuk menjamin tertib sosial dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat melalui tugas-tugas pelayanan publik yang dilaksanakan pemerintah. Rasyid (1997) menyatakan bahwa untuk mencapai hal tersebut institusi pemerintah memiliki tujuh bidang tugas, yaitu menjamin keamanan, memelihara ketertiban, menjamin keadilan, melakukan pekerjaan umum, meningkatkan kesejahteraan, memelihara sumberdaya dan lingkungan hidup. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, maka pemerintahan kemudian membutuhkan organ pelaksana yang mengoperasionalkan tugas-tugas pemerintahan secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Organ pelaksana inilah yang dikenal dengan birokrasi.
Konsep birokrasi modern
Konsep birokrasi modern dalam sejarah evolusi teori-teori organisasi disampaikan oleh seorang Sosiolog Jerman, Max Webber (1918) dalam kelompok pertama teori-teori organisasi dengan pendekatan klasik. Max Weber dilahirkan dengan nama Maximilian Weber dikenal sebagai founder of modern sociology merupakan salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan terbesar pada teori organisasi generasi pertama dengan pendekatan klasik memperkenalkan sebuah model ideal dari organisasi yang disebut dengan bureaucracy. Birokrasi sebagai sebuah tipe ideal dari struktur organisasi yang sangat efesien dalam pencapaian tujuan organisasi memiliki karakteristik division of labor, a clear authority hierarchy, formal selection procedures, detailed rules and regulations, and impersonal relationship (Mintzberg, 1983; Robbins, 1990; Albrow, 1996).
Konsep birokrasi sebagai sebuah struktur organisasi sangat ideal untuk jenis organisasi yang besar, terdiri dari para pejabat (beamter) yang diangkat dan memiliki struktur karir berdasarkan kompetensi atau merit system, tugas-tugas dibagi dalam biro-biro atau bagian-bagian secara terspesialisasi yang diisi oleh pejabat yang profesional, yang hanya menjalankan tugas-tugasnya secara rasional dengan otoritas yang legal, adanya hirarki dan rangkaian perintah (chain of command) dan diberikan fasilitas dan sumberdaya dari organisasi sehingga terjadi pemisahan kepemilikan pribadi dengan organisasi secara impersonal. Tipe organisasi formal ini disebut dengan birokrasi dengan model rasional (Gerth & Mills, 1958; Hoy & Miskel, 1978; Lubis & Huseini, 1987; Kasim, 1993; Garston, 1993; Albrow, 1996; Setiono, 2002).
Otoritas dalam birokrasi
Konsep awal yang mendasari birokrasi modern adalah tulisan-tulisan Max Webber yang menjelaskan pemikirannya bahwa birokrasi rasional adalah sebuah konsep birokrasi yang muncul atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan oleh karena sebab lain, seperti otoritas tradisional maupun otoritas kharismatis. Otoritas hukum atau legal diperoleh berdasarkan pada tata hukum sesuai dengan prosedur yang ditetapkan hukum, manusia lain mentaatinya karena hukum mengatakan demikian. Otoritas legal Webber menjadi dasar adanya birokrasi rasional yaitu lembaga birokrasi yang berdasarkan pada norma-norma yang tercipta secara sadar dan rasional menurut tertib hukum serta berfungsi sesuai dengan tujuan sarana yang ada.
Karakteristik birokrasi rasional weberian
Sebuah organisasi yang mengarah kepada model birokrasi rasional weberian memiliki karakteristik adanya sebuah hirarki dan rangkaian perintah (a hierarchical chain of command), pembagian tugas-tugas kedalam fungsi-fungsi (specialization of function), aturan dan kebijakan organisasi dibuat secara seragam dan tertulis (uniform written rules and policies), memiliki prosedur yang baku untuk tiap-tiap pekerjaan (standardized procedures for each job), memiliki sebuah struktur karir yang didasarkan kompetensi (a career based on promotion for technical competence), hubungan-hubungan lebih yang impersonal (impersonal relation), dan koordinasi datang dari tingkatan diatasnya atau lebih (all coordination from a level or more above), (Albrow, 1970; Mintzberg, 1983; Lubis, 1987; Robbins, 1990; Garston, 1993; Setiono, 2002).
Sebagai sarana bagi pemerintah dalam melaksanakan pelayanan publik, birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis, rasional dan efesien dari pekerjaan-pekerjaan dan banyak manusia. Birokrasi dibentuk agar keputusan-keputusan pemerintah dapat dilaksanakan dengan sistematis melalui aparat-aparat negara. Keputusan-keputusan politis hanya akan bermanfaat bagi setiap warga negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang tanggap, sistematis dan efesien (Kumorotomo, 1994; Thoha, 1995). Dengan demikian fungsi pokok birokrasi dalam negara adalah menjamin terselenggaranya kehidupan negara, memberikan pelayanan kepada publik dan menjadi alat masyarakat dalam mencapai tujuan ideal suatu negara (Setiono, 2002; Prasojo, 2006).
Corak administrasi dan birokrasi kepolisian juga tidak sama antara satu masyarakat perkotaan dengan masyarakat perkotaan lainnya. Semakin kompleks masyarakatnya, secara demografi, etnik atau rasial, kebudayaan, kemampuan ekonomi warganya, serta politik, maka akan semakin kompleks juga fungsi-fungsi administrasi serta corak birokrasi pelayanan dan masing-masing kantor polisi tersebut. Hubungan antara masyarakat dengan polisi adalah saling mempengaruhi, atau lebih tepatnya keberadaan polisi dalam masyarakat adalah fungsional dalam struktur kehidupan. Perubahan fungsi-fungsi atau tugas-tugas polisi terus berlangsung, karena keberadaan polisi adalah hasil tanggapan dari masyarakat yang bersangkutan dan untuk kepentingan masyarakat tersebut. Pada masyarakat pedesaan corak administrasi dan birokrasi polisi akan lebih santai terutama dalam hubungan dengan kegiatan-kegiatan sesama polisi dan masyarakatnya (Suparlan, 1997:67). Administrasi dan lingkungan saling mempengaruhi, keadaan lingkungan mempengaruhi administrasi (Djamin, 1995). Hubungan fungsional antara polisi dan masyarakat serta antara konteks, lokalitas lingkungan, dan kebudayaan mempengaruhi administrasi dan corak birokrasi kepolisian (Dahniel, 2008).
ooo000ooo
Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Dahniel, Rycko Amelza, 2008, Birokrasi di Kepolisian Resor Kota Sukabumi, Disertasi Doktor Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta.
Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK Press, Jakarta.
___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta
Dunsire, Andrew, 1973, Administration: The World and The Science, martin Robertson & Company Ltd., London.
Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman, 2006, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Penerbit Buku Kompas PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2002, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Suriasumantri, Jujun S, 1995, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Yayasan Obor Indonesia, Edisi kedua, Jakarta.
Shafritz, Jay M & Albert C. Hyde, 1992, Classif of Public Administration, Wadsworth Publishing Company, Third Edition, Belmont, CA
Suparlan, Parsudi, 1994, Metodologi Penelitian Kwalitatif, Program Kajian Wilayah Amerika Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta
Suparlan, Parsudi, 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta
Wilson, Woodrow, 1887, The Study of Administration: Political Science Quarterly 2 No.1, dalam Classic of Public Administration, 1992, Belmont, CA. dan Public Administration: Concept and Cases, 1992, Boston, MA.
[1] Pengajar di KIK UI dan Kepala Unit Industri Perdagangan Bareskrim Polri, 2008
[2] Guru Besar Antropologi UI, mengajar di KIK UI, PTIK, Sespim, Sespati Polri dan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia