Penegakan HAM sebagai kekuatan politik

Penegakan HAM Sebagai Kekuatan Politik Guna Membangun Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional[1]

Oleh: Dr. Rycko Amelza Dahniel

Pendahuluan

Sebelum memasuki pembahasan materi naskah Kertas Karya Acuan ini, perlu bagi kita untuk berhenti sebentar, dalam rangka memahami judul yang diberikan Lembaga, khususnya terkait variabel pertama. Secara sintaksis “Penegakan HAM Sebagai Kekuatan Politik” adalah tidak keliru, namun secara semantis menimbulkan refleksi kritis kefilsafatan yaitu apakah “Penegakan HAM itu mengabdi pada Kekuatan Politik” bila demikian, bukankah Penegakan HAM itu seakan menjadi dimanfaatkan, terkooptasi dan menjadi sekedar alat dari kekuatan politik semata. Memang tergantung pada bagaimana selanjutnya kita memaknai “kekuatan politik”. Bila kekuatan politik dimaknai dengan menggunakan pemahaman dalam TOR KKA ini “bahwa perlu adanya keinginan politik (political will) dari penguasa politik untuk menegakan HAM dan tidak melakukan Impunity) maka dikuatirkan “Kekuatan Politik” dimaknai sebagai kekuatan politik tertentu. Penggunaan “penguasa politik” seakan-akan menjadi sangat tendesius mengarah tidak pada tatanan dari struktur politik secara keseluruhan yang terdiri dari Suprastruktur, Infrastruktur dan Substruktur.

 

Secara integral, holistik dan komprehensif menjadi lebih terang apabila, “perlu adanya keinginan politik” itu dimaknai sebagai keinginan dari “seluruh tatanan struktur politik” bukan “penguasa politik”. Sehingga konsepsi “kekuatan politik” pun akan mengarah pada “Kekuatan Politik NASIONAL” yaitu perlunya kebersamaan dan gotong royong dari seluruh tatanan baik Suprastruktur, Infrastruktur maupun dan Substruktur politik untuk memajukan dan menegakan HAM Guna Membangun Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional.

Berkenaan dengan keturutsertaan bangsa-bangsa pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 adalah bukan persoalan wajib atau persoalan mau atau tidak mau. Sebagai manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kemampuan untuk berfikir maka keterlibatan siapapun dalam memajukan dan menegakan HAM perlu dilandasi dengan argumentasi yang rasional.

Mengutip penjelasan umum Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi (menegakan) hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penjelasan yang menyatakan bahwa negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi (menegakan) hak asasi manusia, sesungguhnya merupakan pengaktualisasian nilai-nilai luhur Pancasila yaitu Sila Pertama dan Sila kedua yang menggandung nilai bahwa bangsa Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, yaitu dengan sangat menjunjung tinggi nilai kemanusian, memberikan pengakuan akan adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, dan sikap lainnya yang menunjukkan bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang semena-mena terhadap orang lain.

Indonesia baru menjadi anggota PBB pada tahun 1950 atau dua tahun setelah DUHAM. Bila memang sejak semula terpaksa pada ketentuan DUHAM tentunya Indonesia tidak akan menjadi anggota PBB. Artinya keterikatan bangsa Indonesia pada DUHAM adalah bukan semata-mata karena keterpaksaan, namun karena secara rasionalitas dan falsafah pandangan hidup bangsa Indonesia, DUHAM memang selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai luhur Pancasila dapat diderivasikan kepada pasal-pasal DUHAM. Karenanya pelanggaran terhadap DUHAM adalah justru merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila.

Memang adalah fakta bahwa pascakemerdekaan banyak persoalan-persoalan berkenaan dugaan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang bahkan hingga saat ini masih ada yang belum tuntas penyelesaiannya. Keadaan itu membuat sebagian besar bangsa kita menjadi lebih terfokus pada penegakan HAM yang dipandang lemah dan menimbulkan berbagai kekuatiran akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu adalah wajar, penegakan HAM sudah seharusnya dilakukan. Instrumen regulasi HAM sudah cukup banyak seperti, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Ratifikasi UU No. 29 Tahun 1999 Tentang Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965; Ratifikasi UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.; Ratifikasi UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;  UU No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskirimiasi Ras dan Etnis; UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia khusus untuk pelanggaran HAM berat.

Namun, menjadi perlu dipahami bahwa Penegakan HAM yang dilakukan semata melalui Penegakan Hukum, akan cenderung merupakan bentuk tindakan reaktif yang juga berpotensi kontraproduktif. Bukan berarti tindakan reaktif tidak diperlukan dan membenarkan impunity (forgiving not forgetting), akan tetapi secara bersamaan perlu dilakukan tindakan yang proaktif antisipatif melalui instrumen kebijakan politik, yang berupaya mengorientasikan kembali bangsa ini untuk berpikir dan berperilaku lebih sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Keberhasilan upaya menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila akan berkontribusi langsung bagi pada berkurangnya tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar HAM, “menghormati Pancasila sama dengan menghormati HAM”. Untuk itu seluruh pemangku kepentingan khususnya dalam tatanan suprastruktur politik, yang harus memiliki kemauan dan keberanian untuk terlebih dahulu dengan penuh kesadaran memahami kembali makna nilai-nilai Pancasila. Sehingga dapat teraktualisasikan dalam cara berpikir dan bertindak, serta dapat secara lebih efektif merumuskan instrumen kebijakan politik yang mengorientasikan kembali nilai-nilai Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia.

 

Pokok Permasalahan

Berdasarkan analisis tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah bagaimana Menegakan HAM melalui Kekuatan Politik NasionalGuna Membangun Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional

Pokok-pokok Persoalan :

  1. Belum optimalnya instrumen kebijakan politik yang proaktif antisipatif dalam memajukan dan menegakan HAM.
  2. Belum optimalnya kerjasamadari seluruh tatanan struktur politik untuk menginternalisasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai universal Pancasila.

Pokok-pokok Pemecahan Persoalan

  1. Kebijakan

“Gotong Royong Membangun Kekuatan Politik Nasional yang Proaktif Antisipatif dalam rangka menegakan HAM”

  1. Strategi

Strategi 1. Optimalisasi Instrumen Kebijakan Proaktif Antispatif dalam rangka memajukan dan menegakan norma-norma HAM

Strategi 2. Optimalisasi kerja sama seluruh tatanan struktur politik dalam rangka mendorong internalisasi dan aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila.

  1. Upaya Strategi 1.
  2. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Lembaga Ketahanan Nasional, Komisi Nasional HAM, Organisasi HAM,  secara bersama-sama merumuskan instrumen kebijakan proaktif antisipatif yang diarahkan untuk mendorong peningkatan pemahaman dan pengamalan norma-norma HAM bagi seluruh tatanan Struktur Politik.
  3. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Nasional HAM, dan Organisasi HAM memastikan promosi sosialisasi melalui berbagai saluran media secara berkelanjutan, kebijakan proaktif antisipatif yang mendorong pemahaman dan pengamalan norma-norma HAM bagi seluruh tatanan Struktur Politik.

Upaya Strategi 2

  1. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Lembaga Pendidikan/Universitas, Organisasi Masyarakat, secara bersama-sama merumuskan kembali petunjuk-petunjuk nyata dan jelas internalisasi (penghayatan) dan aktualisasi (pengamalan) nilai-nilai Pancasila bagi seluruh tatanan Struktur Politik.
  2. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Lembaga Pendidikan/Universitas, Organisasi Masyarakat, secara bersama-sama memastikan dan mendorong seluruh tatanan Struktur Politik  melakukan berbagai kegiatan yang membangun hubungan kemanusiaan (relationship) sebagai bentuk nyata dan jelas, internalisasi (penghayatan) dan aktualisasi (pengamalan) nilai-nilai Pancasila.

 

Jakarta, 20 September 2013

 

 

[1] Berdasarkan analisis di atas mohon untuk dipertimbangkan pengusulan penyempurnaan judul “Menegakkan HAM melalui Kekuatan Politik NASIONALGuna Membangun Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional”