Oleh: Dr. Rycko Amelza Dahniel, M.Si
Abstrak
Gustav Radbruch (1961) melihat ada tiga nilai dasar pembentuk hukum, yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun antara mereka terdapat suatu spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu dengan lainnya yang memiliki potensi saling bertentangan dan seringkali sulit didamaikan, satu diantara mereka dikedepankan, maka akan menggeser dua nilai yang lain kesamping. Sementara itu tujuan hukum akan tercapai apabila terciptanya keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum yang mewujudkan suatu keadilan. Diskresi lahir sebagai penyeimbang diantara nilai-nilai dasar pembentuk hukum agar mencapai cita-citanya.
Pendahuluan
Revolusi sosial di Perancis pada 1787 – 1789 dipicu oleh ketidakadilan antar kelas yang dimotori oleh negara sebagai kelompok dominan. Perekonomian Perancis saat itu sangat tergantung dari ekonomi pertanian, sehingga melahirkan kelas keluarga petani, kelas pemilik tanah sebagai kelas dominan dan Negara sebagai kelas tersendiri yang terdiri dari para pejabat dan keluarga dari pemerintahan monarki. Dua kelas sosial terakhir menjadi mitra eksploitasi sekaligus bersaing dalam penguasaan surplus dari ekonomi perdagangan pertanian. Menjelang abad 18, muncul kelas dominan baru di Perancis yang justru semakin memperburuk politik dan ekonomi Negara. Mereka itu adalah kelas dominan yang mengambil surplus secara langsung maupun tidak langsung dari pertanian dan golongan petani melalui sewa-menyewa dan iuran-iuran tanah pertanian yang dikuatkan oleh lembaga peradilan yang dikuasai oleh para tuan tanah, menarik retribusi pendapatan dari para petani dengan berlindung dibalik kekuasan dan hukum Negara kerajaan. Kelompok dominan ini yang disebut dengan istilah feodal, yaitu satu kelas istimewa yang berkaitan dengan surplus dari kepemilikan tanah berdasarkan sarana kekuasaan pemaksa dari Negara. Oleh karena itu terjadinya Revolusi sosial di Perancis, disamping beratnya tantangan yang datang dari luar negeri, juga disebabkan karena munculnya kaum borjuis, kritik terhadap kekuasaan tradisional yang sewenang-wenang, dan yang lebih penting dari itu adalah diproduksinya hukum yang lebih memberikan kepastian dan kegunaan kepada para kaum borjuis ketimbang keadilan kepada rakyatnya. Supremasi hukum dijunjung dengan mengedepankan nilai kepastian dan kegunaan hukum yang berpihak kepada kelas borjuis feodal.
Apa yang dapat diambil learning point dari peristiwa sejarah di Perancis adalah pengalaman menegakan keadilan melalui supremasi hukum itu telah memberi bekas yang mendalam kepada para rakyatnya, terutama para pekerja dan petani. Hukum yang diproduksi memiliki konsekuensi untuk memikul seluruh beban yang ditimpakan oleh hukum, artinya kewajiban kepada pemerintah sebagai pembuat hukum dan rakyatnya untuk bersama-sama mentaati hukum. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana sebenarnya supremasi penegakan hukum itu?.
Nilai dasar penghidupan tata negara di Indonesia tercermin jelas pada konsep negara hukum sebagaimana dicita-cita oleh landasan hukum tertinggi Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Bagir Manan (1994 dalam Nitibaskara 2006) sendi utama negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat, maupun antara anggota atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Supremasi hukum dalam pengertian itu dapat dimaknai bahwa asas legalitas merupakan landasan yang terpenting di dalam setiap tindakan, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
Namun demikian hukum merupakan sebuah produk negara, hasil pemikiran dan penjelmaan daripada kemauan negara sebagai sebuah keputusan politik, semua warga negara harus tunduk kepada hukum termasuk para pembuatnya. Nitibaskara (2006) menjelaskan bahwa hukum yang didorong berlaku tanpa kecuali umumnya dilandasi pada kepastian hukum. Sementara itu menurut Gustav Radbruch (1961) setidaknya terdapat tiga nilai dasar hukum yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian hukum. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun antara mereka terdapat suatu spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu dengan lainnya yang memiliki potensi saling bertentangan, satu diantara mereka dikedepankan, maka akan menggeser dua nilai yang lain kesamping. Hal ini disebabkan karena masing-masing nilai tersebut memiliki tuntutan yang berlainan satu dengan lainnya dan mengandung potensi saling berhadapan. Apabila nilai kepastian hukum dikedepankan, maka akan segera menggeser nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang paling utama dari nilai kepastian hukum adalah kepastian penegakan atas peraturan itu sendiri, mengenai apakah peraturan itu harus adil atau bermanfaat untuk masyarakat merupakan di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.
Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum dapat berlainan tergantung nilai mana yang akan dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. Ketika orang mulai berlomba-lomba untuk bermain-main hanya dalam kawasan kepastian hukum, maka hukum akan benar-benar menjadi alat untuk membenarkan berbagai kepentingan. Hukum dapat digunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime). Disinilah hukum bisa diseret ke dalam wilayah yang berbahaya, yakni membenarkan kepentingan yang melawan keadilan masyarakat, termasuk berbagai hal yang kurang berguna bagi rakyat (Nitibaskara, 2006).
Polri sebagai lembaga negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, termasuk penegakan hukum. Sebagai penegak hukum, Polri merupakan gambaran dari hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat. Melalui tangan-tangan anggota Polri, hukum yang tertulis dalam teks-teks buku (law in the book) menjadi hidup, bermakna, berlaku dan dapat melaksanakan tugasnya (law in action). Sebagai konsekuensinya, penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri juga tidak akan terbebas dari tiga nilai-nilai dasar pembentukan hukum itu sendiri yaitu hukum di buat untuk keadilan, kegunaan atau kepastian hukum.
Nilai-Nilai Pembentuk Hukum
Hukum ada pada setiap masyarakat manusia dimanapun juga di muka bumi ini. Bagaimanapun primitive dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti memiliki hukum. Oleh karena itu, keberadaan hukum sifatnya universal, hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, tapi sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik.
Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat. Pandangan ini diyakini tidak saja disebabkan negeri ini menganut faham negara hukum, melainkan lebih melihat secara kritis kecenderungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berkembang ke arah suatu masyarakat modern. Umumnya dan seringkali dipahami oleh masyarakat bahwa hukum adalah suatu perangkat aturan yang dibuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk menegakkan hukumnya.
Mengenai pertanyaan apa itu hukum?, tampaknya suatu pertanyaan yang sangat mendasar dan sangat tergantung dari konsep pemikiran dari hukum itu sendiri, sehingga jawabannya juga akan terus berkembang sesuai dengan mahzab dan pendekatan tentang hukum itu sendiri. Yang perlu dipahami adalah tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum ini tentunya akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum yakni keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan (Makarim, 2003 dalam Prasetyo dan Barkatullah, 2007).
Terbentuknya hukum menurut Soerjono Soekanto (1983) karena manusia sebagai mahluk yang senantiasa hidup bersama memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan. Patokan-patokan tersebut merupakan pedoman untuk berprilaku yang pantas yang sebenarya merupakan suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan. Patokan-patokan untuk berprilaku pantas tersebut, dikenal dengan norma atau kaidah. Norma atau kaidah itu juga dapat timbul dari pandangan-pandangan mengenai apa yang dianggap baik atau buruk yang lazimnya disebut nilai atau juga berasal dari suatu pola perilaku manusia yang telah mantap (ajeg). Norma atau kaidah tersebut selanjutnya mengatur diri pribadi dan kehidupan antar pribadi manusia. Norma atau kaidah yang mengatur pribadi dikenal dengan norma atau kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Norma atau kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia mempunyai kehidupan yang beriman, sedangkan norma atau kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih. Selanjutnya norma atau kaidah yang mengatur kehidupan antar pribadi manusia, khususnya mengenai bidang kesopanan dan hukum. Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau kenikmatan di dalam pergaulan hidup bersama dengan orang lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian di dalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dengan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum.
Bertitik tolak dari tujuan pembentukan hukum diatas, maka hukum yang tertulis didalam teks-teks buku (law in the book) harus berlaku dalam mengatur kehidupan antar pribadi manusia melalui penegakan hukum (law in action) atau yang lebih dikenal dengan sebutan law enforcement. Pada saat inilah, pendapat Gustav Radbruch (1961) mengenai nilai-nilai dasar dari tujuan pembentukan hukum tersebut akan dapat dirasakan dan dikenali, yaitu pendekatan hukum untuk menegakan kepastian, kegunaan atau keadilan hukum. Telah dijelaskan diatas bahwa ketiga nilai tersebut mengandung potensi pertentangan yang sulit didamaikan, ketika salah satu nilai dikedepankan tentunya akan mengurangi intensitas dari nilai yang lain. Hukum sebagai sebuah penjelmaan kekuasaan negara atau produk keputusan politik, tidak akan terbebas dari intensitas fluktuasi nilai-nilai dasar pembentukan hukum itu sendiri. Keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum yang menghasilkan keadilan, hampir dapat dipastikan tergantung dari para aparat yang menegakkan hukum itu. Oleh karena itu ‘tangan-tangan hukum’ atau para penegak hukum idealnya adalah ‘manusia super’ yang tidak saja memiliki kekuatan otot dan otak akan tetapi lebih dari itu harus memiliki hati nurani atau O2H (otak, otot dan hati nurani, lihat Satjipto Raharjo, 2000). Pertimbangan hati nurani penegak hukum, khususnya anggota Polri sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat diatur dalam kaidah yang disebut dengan diskresi kepolisian.
PENEGAKAN HUKUM: membuat patuh atau takut?
Ada baiknya, sebelum menelisik peran diskresi kepolisian dalam nilai-nilai dasar pembentuk hukum, perlu juga dipahami faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum. Soerjono Soekanto (1983) membedakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum antara lain (1) faktor hukumnya sendiri, (2) faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, (3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, (4) faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan (5) faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Dari kelima faktor tersebut diatas, maka faktor penegak hukum memiliki peran yang sangat sentral dalam proses penegakan hukum dan dapat dijadikan salah satu ukuran untuk mengetahui bekerjanya hukum didalam masyarakat, mengukur tingkat kepatuhan masyarakat kepada hukum atau ‘tingkat ketakutan’ masyarakat kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu kuat atau lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat dijadikan ukuran untuk menentukan ada atau tidak bekerjanya hukum di masyarakat. Ketika aparat penegak hukum melakukan operasi penegakan hukum, maka saat itu masyarakat mempersepsikan adanya hukum dan harus ditaati, namun sebaliknya ketika aparat penegak hukum tidak melakukan operasi penegakan hukum, maka seolah-olah hukum tidak ada dan boleh dilanggar. Dalam kondisi ini, masyarakat tersebut dapat dikatakan masih dalam taraf masyarakat yang ‘takut’ kepada aparat penegak hukum, dan belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang ‘taat’ kepada hukum.
Sebagai contoh, ketika seorang pengendara sepeda motor memutuskan untuk menggunakan helm atau tidak untuk berkendara di jalan raya. Apabila pengendara sepeda motor memutuskan menggunakan helm meskipun jarak yang ditempuhnya dekat dan diketahui tidak ada polisi lalulintas di sepanjang jalan yang dilalui, maka pengendara sepeda motor tersebut dikategorikan sebagai taat pada hukum. Namun, bila pengendara sepeda motor memutuskan tidak menggunakan helm, cukup dibawa saja dan akan digunakan ketika ada polisi lalulintas yang bertugas disepanjang jalan yang akan dilalui, maka pengendara sepeda motor tersebut dikategorikan sebagai takut pada aparat penegak hukum. Meskipun disadari oleh penggendara sepeda motor bahwa kewajiban menggunakan helm adalah untuk melindungi diri dari si pengendara itu sendiri, disamping diwajibkan oleh hukum, namun hal ini seringkali dilanggar dan ketika itu dapat diukur tingkat kepatuhan pada hukum atau ketakutan pada aparat penegak hukum.
Dengan demikian kenyataan diatas dapat digunakan sebagai salah satu hipotesis bahwa penegakan hukum yang konsisten diperlukan untuk membentuk masyarakat yang patuh kepada hukum, meskipun pada awalnya didahului dengan masyarakat yang takut kepada penegak hukum.
Disamping itu, faktor penegak hukum itu sendiri yaitu para petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menegakan hukum juga memiliki peran yang menentukan dalam menentukan bekerja atau tidaknya hukum di dalam masyarakat. Sebagai individu, penegak hukum tentunya memiliki latar belakang, kepentingan dan tuntutan kebutuhan dalam hidupnya. Kondisi ini yang seringkali menjadi pemicu terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor yang dapat diidenfikasi mempengarui individu penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya antara lain (1) faktor moralitas penegak hukum, (2) kesejahteraan dan motivasi, (3) pengawasan, (4) waktu masa jabatan, (5) faktor reward and punishment, dan (6) kemampuan intelektual.
Selanjutnya, fenomema yang menarik juga lahir dari tipelogi masyarakat perkotaan yang lebih mengutamakan pencari kemenangan ketimbang keadilan hukum. Sebagai pencari kemenangan, maka segala upaya akan dilakukan untuk mendapatkan kemenangan hukum dengan berbagai cara. Pada saat itu diperlukan penegak hukum yang konsisten dan memiliki komitmen pada organisasi dan keadilan, karena tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum tidak memiliki integritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman.
Konsep Penegakan Hukum
Setidaknya ada tiga konsep yang dapat dijadikan acuan dalam penegakan hukum, menurut Muladi (2002 dalam Sadjiono, 2008), yaitu (1) konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang terdapat didalam norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali. Pada saat itu nilai kepastian hukum lebih dikedepankan ketimbang nilai-nilai kegunaan dan keadilan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, kondisi ini akan membuka peluang terjadinya hukum sebagai alat dari kekuasaan, karena hukum merupakan penjelmaan dari kekuasaan pemerintahan dan hasil sebuah keputusan politik. (2) Konsep penegakan hukum bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total harus dibatasi dengan hukum acara demi perlindungan kepentingan individual. Konsep ini telah membuka peluang terjadinya penghormatan atas hak-hak individu, meskipun hukum juga harus tetap diterapkan secara apa adanya, dan (3) konsep penegakan hukum yang aktual (actual enforcement concept) yaitu penegakan hukum dengan memperhatikan realitas kepastian, kegunaan dan keadilan dalam penerapanannya ditengah masyarakat, melalui sebuah kewenangan diskresi yang mengakomodasi berbagai keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana hukum, kebudayaan masyarakat setempat, kualitas sumberdaya manusia, kondisi yang senyatanya terjadi, kualitas perundang-undangan dan partisipasi masyarakat.
Diskresi kepolisian
Diskresi merupakan kewenangan polisi dalam melaksanakan pemolisian. Diskresi merupakan tindakan yang diambil untuk tidak melakukan tindakan hukum dengan tujuan untuk kepentingan umum, kemanusiaan, memberikan pencerahan atau pendidikan kepada masyarakat. Tindakan diskresi bisa dilakukan oleh setiap anggota kepolisian yang bertugas atau menangani suatu kasus atau permasalahan dalam lingkup tugas dan kewenangannya. Menurut Davis (dalam Bailey (ed), 1995) police dicretion maybe defined as the capacity of police officers to select from among a number of legal and ilegal courses of action or inaction while performing their duties.
Tindakan diskresi juga harus didasari dengan hati nurani, etika dan moral untuk kepentingan umum, bersifat mendesak dan tidak untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok atau organisasi. Prof. Satjipto Rahardjo (2000) mengatakan : “…. dalam melaksanakan tugasnya polisi hendaknya menggunakan O2H yaitu otot, otak dan hati nurani”. Menurut Sitompul (2000) dan Utomo (2005) untuk melaksanakan tindakan diskresi berpatokan terhadap empat azas yaitu (1) Asas keperluan, adalah yang memberi pedoman bahwa tindakan polisi hanya dapat dilakukan apabila tindakan itu betul – betul untuk meniadakan atau mencegah suatu gangguan, (2) Asas masalah, merupakan patokan, memberi pedoman bahwa tindakan yang yang dilakukan oleh seorang polisi harus dikaitkan dengan permasalahannya dan tindakan polisi tidak boleh mempunyai motif pribadi, (3) Asas Tujuan, menghendaki agar tindakan polisi betul-betul tepat dan mencapai sasarannya, guna menghilangkan atau mencegah suatu gangguan yang merugikan, dan (4) Asas Keseimbangan, memberikan pedoman kepada petugas polisi agar tindakan polisi seimbang antara keras dengan lunak tindakan yang diambil, seimbang dengan alat yang digunakan dengan ancaman yang dihadapi.
Tindakan diskresi harus dipagari dengan norma-norma, profesional, norma-norma dalam masyarakat, norma hukum dan moral. Diskresi bukan hanya perlu tetapi juga penting untuk dilakukan oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya. Karena polisi bekerja dalam penegakan hukum langsung berhadapan dengan masyarakat dan dalam mengambil kebijaksanaan dilapangan juga di pengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah faktor lingkungan. Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas polisi karena (1) undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan, (2) hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut, dan (3) pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian.
Kewenangan melakukan diskresi secara implisit diatur dalam beberapa pasal di Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ayat (1), untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, dan selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 18 dalam undang-undang ini memberikan kewenangan diskresi kepada pejabat Polri untuk melakukan tindakan berdasarkan penilaiannya sendiri yang didasarkan kepada (1) untuk kepentingan umum, (2) memperhatikan peraturan perundangan serta kode etik profesi, (3) dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu, dan (4) mempertimbangkan manfaat dan resiko yang akan terjadi. Serta dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengutamakan tindakan pencegahan (pasal 18 ayat (1) dan (2)).
Selanjutnya dalam menyelenggarakan tugas pokok Polri dibidang proses pidana, penyidik juga diberi kewenangan diskresi berupa tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab seperti dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 huruf j Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan pasal 16 ayat 1 huruf l. Kewenangan melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab adalah merupakan tindakan dalam penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 dan pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 7 ayat (1) huruf j dalam penjelasannya, yaitu (1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, (2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, (3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, (4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan (5) menghormati hak asasi manusia.
Azas plichmatigheid dalam hukum kepolisian juga sangat dekat kaitannya dengan pembatasan kewenangan polisi dalam konsep diskresi yaitu membatasi kewenangan polisi dalam melaksanakan kekuasaan umum untuk melakukan tindakan yang diserahkan kepada inisiatif petugas polisi itu sendiri. Batas-batas kewajiban dan sekaligus membatasi kewenangan dalam azas plichmatigheid adalah (1) azas keperluan (noodzakelijk) yaitu secara obyektif menurut pendapat umum tindakan polisi harus dilakukan, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih, misalnya memerintahkan pemindahan pemasangan papan reklame yang menutupi rambu lalulintas, meskipun pemasangan tersebut telah mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang, (2) azas masalah sebagai patokan (zakelijk) yaitu tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan umum bukan kepentingan pribadi anggota polisi, (3) azas tujuan (doelmatig) yaitu tindakan yang diambil benar-benar untuk mengelakkan gangguan dan memperkecil kerugian serta korban, dan (4) azas keseimbangan (evenreding) yaitu tindakan yang diambil polisi harus sesuai antara tindakan dengan berat ringannya masalah. Sehubungan pemolisian, penyidikan dan bimbingan masyarakat secara umum termasuk dalam rangka keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu-lintas, sehubungan dengan tindakan yang didasarkan atas penilaian sendiri, untuk kepentingan umum dan memperhatikan norma-norma susila, sopan santun dan sosial serta menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
PENUTUP
Pada bagian akhir makalah ini, akan disimpulkan bahwa penegakan hukum merupakan konsekuensi dari tujuan dibuatnya hukum itu. Tujuan hukum tentunya akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum yaitu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan.
Disadari bahwa setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum seperti faktor hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan kebudayaan. Namun harus diakui faktor penegak hukum merupakan faktor sentral dan dominant sebagai representasi bekerjanya hukum dimasyarakat serta dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat kepada hukum atau ketakutan kepada aparat penegak hukum.
Sementara itu, peran hukum di masyarakat harus bermanfaat sebagai sarana pengendali sosial, memperlancar interaksi sosial, dan menciptakan keteraturan sosial. Sehingga tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum dapat diseimbangkan melalui kemampuan dan hati nurani penegak hukum yang bekerja dalam koridor diskresi.
Meskipun tindakan diskresi telah diatur secara tegas dalam Undang-undang yang memberikan tugas-tugas dan kewenangan kepada Polri, termasuk dijelaskan dalam hukum acara pidana, namun lebih dari itu, sekali lagi, penjabaran dari tugas-tugas dan kewenangan yang diberikan, utamanya batasan-batasan kebolehan untuk mencegah tindakan manipulatif bahkan eksesif, penggolongan, cara bertindak dan tingkatan pejabat yang berwenang melakukan tindakan diskresi harus segera dirumuskan, sekali lagi untuk tercapainya tujuan hukum dan keteraturan sosial.
Selaras dengan perkembagan masyarakat demokratis yang semakin modern, maka Polisi masa depan akan lebih mengedepankan tindakan pencegahan, prevention is better than cure dalam menjalankan tugas dan wewenangnnya, dan perubahan perilaku anggota Polri merupakan syarat utama untuk mewujudkan Polri yang dicintai rakyatnya.
ooo000ooo
[*] Kombes Pol Dr.Rycko Amelza Dahniel,M.Si, Kanit I Indag, Dit II Eksus Bareskrim Polri, Pengajar pada Kajian Ilmu Kepolisian – KIK dan Departemen Kriminologi UI, 2008.